Penolakan RUU Penyiaran Diduga Sebagai Dampak Pembangunan Hukum Ortodoks

 

(Opini)

Oleh :
Dr. Wahju Prijo Djatmiko, S.H., M.Hum., M.Sc., S.S., G.Dipl.IfSc.

Nganjuk, Dutawarta.Com - Pembangunan hukum penyiaran merupakan bagian dari politik hukum yang  menyelidiki perubahan-perubahan apa saja yang harus diadakan dalam hukum penyiaran yang sekarang berlaku (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran) supaya menjadi sesuai dengan kenyataan sosial (sociale werkelijkheid). Kenyataannya, aksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang (UU) a quo terus berlangsung. Para jurnalis di berbagai daerah pun melakukan aksi demo untuk menolak Rancangan UU (RUU) Penyiaran ini.

Fungsinya sebagai perlindungan kepentingan para jurnalis, hukum penyiaran mempunyai tujuan yang hendak dicapai yakni menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Tercapainya ketertiban dan keseimbangan di dalam masyarakat pers diharapkan kepentingan dan marwah para ‘pejuang narasi’ ini akan terlindungi. Dengan adanya penolakan yang meluas di berbagai daerah hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan keselarasan dan kemanfaatan  antara  RUU Penyiaran sebagai rencana hukum tertulis (ius constituendum) dengan masyarakat yang akan menggunakannya sebagai piranti sosial. Resistensi yang meluas tersebut juga menunjukkan bahwa RUU Penyiaran diduga proses pembuatan hukumnya bersifat ortodoks, sentralistis dalam arti lebih dominannya  lembaga negara terutama pemegang kekuasaan eksekutif dalam mewarnai  hukum. 

Pembangunan hukum penyiaran merupakan bagian dari politik hukum (rechtspolitiek). Politik hukum penyiaran didalamnya mencakup masalah pembangunan hukum penyiaran yang bermuara pada upaya pembaruan terhadap hukum yang ada (ius constitutum) dan dianggap usang oleh Pemerintah. Disamping itu, juga sebagai upaya pembentukan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di kehidupan masyarakat. 

Sepanjang sejarah politik hukum di Indonesia, sebenarnya sering terjadi tolak - tarik kepentingan antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Demokrasi dan otoriterisme muncul secara linear dengan kecenderungan sifat yang dibawanya masing-masing atau dengan tujuan-tujuan nya yang hendak dicapai. Sehubungan dengan kenyataan politik itu, perkembangan karakter produk hukum pun memperlihatkan dampak pengaruhnya, yakni kemungkinan munculnya antara produk hukum yang berkarakter responsif dan ortodoks. 

Pada sistem rezim otoriter, hukum merupakan subordinasi politik, artinya bahwa hukum mengikuti arah kemauan politik. Dengan kata lain, hukum didayagunakan hanya demi menunjang tujuan politik sang penguasa. Sebaliknya dalam sistem rezim yang demokratis, hukum secara diametral terpisah dengan politik,  artinya bahwa hukum bukan menjadi subordinasi dari politik. Posisi inilah hukum menjadi acuan dalam berpolitik bagi pemerintah  dalam mengelola negara dan bangsanya, namun dalam kenyataannya  subsistem politik memiliki energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah. Itulah sebabnya  secara empiris, politik sangat menentukan corak dan bekerjanya hukum, tak terkecuali anggapan insan pers terhadap  RUU Penyiaran ini.

Setiap upaya pembangunan hukum didalamnya pasti terdapat hubungan dengan persoalan masyarakat yang dalam hal ini adalah masyarakat pers. Hukum dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya, karena keduanya saling membutuhkan. Hukum tanpa masyarakat, tidak akan ada gunanya, sebaliknya masyarakat tanpa hukum tidak akan berjalan dengan tertib, sebagaimana adagium yang menyatakan bahwa di mana ada masyarakat, maka di situ ada hukum (ubi society ibi ius). Masyarakat dalam menjalani kehidupannya akan selalu berubah dinamikanya. 

Perubahan dinamika kehidupan manusia itu disebabkan oleh adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban. Idealnya ketika masyarakat mengalami perubahan, maka hukum harus segera melalukan perubahan juga. Penulis beranggapan memang selayaknya UU Penyiaran harus mengalami perubahan agar mengikuti perkembangan zaman dan peradaban zaman.

Secara garis besar setidak – tidaknya ada empat (4) hal yang menjadi dasar keberatan kaum pers terhadap RUU Penyiaran ini, yakni : (1) Adanya larangan bagi awak media untuk menayangkan hasil liputan investigasi karena hal tersebut bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang pada pokoknya tidak mengenal sensor dan pelarangan terhadap karya jurnalistik yang berkualitas; (2) RUU Penyiaran dianggap mengambil kewenangan penyelesaian sengketa dari Dewan Pers yang secara normatif telah diatur di Dewan Pers sebagaimana dituangkan dalam UU Pers; (3) Pelarangan penyiaran yang tidak sesuai dengan isi siaran sebagaimana terdapat dalam RUU a quo misalnya konten yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, dan sebagainya.

Pelarangan ini dianggap mengangkangi kebebasan menyampaikan informasi pada masyarakat; (4) Pelarangan terkait konten dan/atau siaran yang bersifat subjektif menyangkut kepentingan politik yang berhubungan dengan pemilik dan/atau pengelola lembaga penyiaran dan penyelenggara informasi digital, yang dianggap mengurangi kebebasan pers. (*)

(Team/rdks)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rombongan LSM GMBI, datangi Kantor PWI dan Tambang TMKI atas Tuduhan Pelaporan ke Kejaksaan

Mancing Mania Gratis, Dalam rangka HUT Tunas Arta Mandiri (TAM)

DPD Partai Golkar Nganjuk Dukung penuh Bahlil Lahadalia Jadi Ketua Umum Partai Golkar